Sabtu, 16 April 2016

Mengapa Belum Juga?

Pantai;
Ia telah mengucap janji setianya pada laut. Bahwa ia akan selalu menemani. Kapan pun. Dalam keadaan apa pun. Sedahsyat apa pun hembusan angin—atau bahkan badai—yang mengguncang, yang mengurai tenang jadi gelombang-gelombang yang sulit dikekang, ia ‘kan selalu di sana. Menjadi sahabat paling sejati yang selalu mencoba mengerti. Dalam pasang maupun surut. Dalam jernih maupun keruh. Katanya, ‘tak peduli kamu seberapa pekat, aku akan tetap dekat’.
Panas;
Ia telah mengaku jatuh hati pada api. Mengagumi segala pesonanya, dan berikrar dalam hati, ia akan selalu menjadi ruh yang bersemayam dalam raganya. Menjadi rasa paling dikenal. Karena bersama api, ia tahu arus cintanya diberi kanal. Dalam momen destruksi sekalipun, ia selalu bahagia. Dan selalu mengucap harap dalam doa, ‘semoga semuanya abadi’.
Dingin;
Ia sudah terlalu yakin salju adalah muara cintanya. Dan tak tahu lagi harus berkata apa. Sampai kapan pun ia tak akan merindukan salju, karena mereka selalu bersama. Bercengkerama dengan pucuk-pucuk daun, bertengger manis di ranting pohon, jatuh merintik di permukaan jalan, atau menjadi selimut bagi genting-genting rumah. Kisah mereka memang indah.
Kamu;
Mengapa kamu belum juga?
: untuk kamu yang selalu percaya bahwa semua cerita tentang keterpisahan ini hanyalah tipu daya waktu

Novel Cinta adalah Perlawanan (2015), by Azhar Nurun Ala

Jumat, 15 April 2016

Sajak Kehidupan : Seharusnya Dunia ini...

Jika ucapan tidak di dengar
Sudah pantas mulut tak lagi bersua
Jika sindiran tidak juga berarti
Sudah pantas mulut-pun membisu
Dan jika siapapun masih tidak bangkit jua
Biarkanlah mati perlahan demi perlahan

Untuk apa di ingatkan lagi?
Bukankah mereka acuhkan itu?
Seharusnya dunia ini...
Lebih bermakna
Seharusnya dunia ini...
Kau jadikan indah

Bukan hanya berbisik tapi juga berteriak
Kerap kali seperti itu
Sungguh petaka bagi sang durjana
Hingga sampailah saat tinggallah nama
Di hiasi buket bunga, aroma kasturi dan pandan
Menghantarkan pada tempat terakhir
Di barengi tangis dan air mata

Sajak Kehidupan : 'Buta dan Bisu'

Kau punya mata tapi tak melihat
Di sekitarmu tenang tapi kau anggap gelap
Sungguh indah bagaikan mawar
Jka di sentuh akan terluka
Jika di pandang akan terpana

Buta.... tidak kan?
Melihat? iya!
Tapi sayang, Melihatpun kau buta
Lantas bagaimana?

Bicarapun tidak mengeluarkan kata
Diam adalah emasmu
Mutiara ketika kau diam
Namun duri ketika kau berbicara
Lebih baik kau diam saja
Kau bagaikan kura-kura dalam perahu

Rabu, 13 April 2016

Move On

Jejak telanjur terpacak.
Kamu mesti kubur kamu punya luka. Nanti jadi duka, jadi murka. Malammu jadi persinggahan terakhir bagi semua kawanan rindu yang telah lelah menggapai-gapai apa yang tak tergapai. Diammu tidak akan menginfeksi udara. Jadi malam ini, jangan kamu bersuara. Malam ini saja. Agar tiada tambah akut kamu punya luka.
Berjalan. Berhenti. Berjalan lagi. Hidup adalah tentang keseimbangan. Tidakkah apa-apa yang tersembunyi di depan membuatmu penasaran?
Jejak telanjur terpacak.
Terlalu lama menengok ke belakang membuat lehermu pegal. Nafasmu tersengal. Kamu jadi mudah lelah, jadi mudah gundah. Kamu perlu angkat kamu punya dagu. Tertunduk layu itu tanda takut atau ragu. Dan aku tahu betul itu bukan sifatmu.
Jangan juga sungkan untuk sesekali duduk. Selonjor atau bersila, pilih saja yang kamu lebih suka. Asal jangan kamu jadi lupa.
Kecewa takkan membuat esok pagimu jadi tak bernyawa. Coba, coba, dan coba. Keseimbangan adalah tentang mencoba: menakar dan menerka. Tidak apa. Sesekali kamu memang mesti menangis. Karena tidak semua gerimis berujung pelangi yang manis.
Jejak telanjur terpacak.
Ada bekas yang sudah tak bernafas. Takkan hilang sejauh apapun kamu coba buang. Hanya akan jadi samar ditelan waktu: sedikit terlupakan. Ada luka, ada suka, ada rindu, ada malu. Ada jumpa tak pernah kita lupa.
Kenanglah. Kenang. Semua yang kini telah jadi bayang. Tapi jangan kamu habiskan energimu hanya untuk itu. Karena ada hal lain yang lebih bijak dari pada mengenang: membuat cerita baru yang lebih indah.

Novel Ja(t)uh, 2013 Oleh Azhar Nurun Ala